Sisi Lain Dari Wisata Mangrove Lantebung Makassar
Penulis-Irfan iskandar
CELEBES.ID- Kawasan ekowisata mangrove Lantebung terletak di Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Ramai dikunjungi. Minggu (19/6/2022).
Ekowisata mangrove Lantebung mungkin tak asing lagi. Wisata mangrove ini terletak di pesisir Utara kota Makassar dengan luas kurang lebih 30 hektar. Namun tahukah anda, hutan tersebut tidak tumbuh begitu saja. Di balik suksesnya ekowisata ini, banyak cerita yang menarik yang jarang orang ketahui.
Saraba, selaku tokoh masyarakat kampung Lantebung. Pria berusia limapuluhan ini dikenal sebagai pemerhati mangrove, yang banyak sejarah pertumbuhan mangrove tersebut. Tidak hanya menjaga, ia juga terlibat dalam berbagai program penanaman, baik itu dilakukan oleh pemerintah, swasta ataupun atas partisipasi pribadi dan masyarakat setempat.
Saraba, menjelaskan penanaman mangrove di Lantebung dimulai sekitar tahun 1982. Ia mengaku tiap kali menanam, masyarakat setempat melarang untuk bahkan keluarganya sendiri. Akan tetapi dengan semangat dan niat yang mulia demi keberlangsungan masyarakat itu sendiri, ia tetap menanam sedikit demi sedikit di waktu luangnya dan akhirnya menjadi kawasan mangrove yang ada di lantaibung sampai saat ini.
"saya memulai sedikit demi sedikit. pada waktu itu tiap kali menanam, saya dilarang oleh masyarakat di daerah sendiri bahkan keluarga pun tidak merestui tetapi walaupun dilarang, saya tetap menanam tiap tiap ada waktu luang sampai saat ini" ujarnya.
tahun 1996 ia mulai bergabung di komunitas YKL. disitulah mulai ambil gebrakan penanaman karena bergabung dengan mahasiswa salah perguruan tinggi di kota Makassar, disitulah mulai masyarakat satu demi satu untuk ikut menanam. karena awalnya kita mau memanggil masyarakat ikut menanam di sebabkan oleh kondisi dana pada saat itu tidak ada, karena kita ini menanam secara swadaya.
Banyak dari komunitas membantu menanam secara swadaya, dan bergabung dengan salah satu instansi di kota Makassar Dinas Perikanan kota Makassar dari 2006 hingga 2019.
pengelola di desa tongke tongke menyumbang bibit sebanyak 120 ribu pohon, sampai di tempat treking dengan dibantu oleh mahasiswa dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan Universitas Hasanuddin (UNHAS). Masyarakat kemudian mulai aktif menanam karena pendapatan nelayan yang ada di masyarakat lantaibung mulai terangkat.
"sudah banyak komunitas masuk membantu. di tahun 2006 saya membawa masyarakat lantaibung untuk masuk studi banding di Sinjai, yaitu desa tongke tongke. supaya, bagaimana masyarakat lantaibung ini terbuka wawasannya agar bisa melihat perkembangan desa tongke tongke sehingga menjadi wisata mangrov yang ada di tongke tongke sampai saat ini"
Menurut Saraba di 2019 sudah dipadati oleh beberapa komunitas yang masuk menanam. Namun biasanya waktu penanaman kadang kala tidak tepat pada saat datang komunitas dan anggaran biasanya keluar di akhir tahun.
"sebenarnya akhir tahun bukan waktu yang tepat untuk penanaman untuk mangrov. jadi waktu penanam yang mangrov yang tepat itu di bulan Mei sampai bulan November. jadi bulan November itu kita sudah istirahat menanam dan penanaman berikutnya lanjut di bulan yang sama yaitu bulan Mei" tuturnya.
Penanam jarang berhasil jika mengikuti program pemerintah, karena di tahun 2021 ia mulai menanam melalui program PM seluas 10 hektar. Setiap kali penanaman, tidak semua tumbuh secara maksimal dan bahkan gagal total yang berada di ujung selatan.
"Penanam yang gagal total itu hanya berada di ujung selatan. yang tumbuh hanya sekitar 10ribu sedangkan yang di tanam itu sebanyak 30ribu". Tambahnya
Pak saraba mengawali penanaman secara mencicil. jika diliat dari pasang surutnya 100 meter, hanya menanam sekitar 25 meter untuk lebarnya.
Dilihat dari perkembangan tahun 2006 itu terjadi pengkaplingan sepanjang pantai lantebung dikarenakan ulah dari masyarakat lantebung sendiri, dan di tahun 2020 ada penebangan di salah satu perusahaan di kampung lantebung ini, kemudian melaporkan langsung ke mentrian lingkungan hidup akhirnya keyakinan masyarakat bertambah bahwa mangrove ini betul betul di lindungi oleh pemerintah.
Di tahun 2020 juga, ia meminta ke Pemerintah provinsi yaitu gubernur untuk dibuatkan perda pesisir yang di Sulsel. Bukan hanya lantaibung saja yang dibuatkan perda.
"perdanya itu sudah ada yaitu perda no.2/2019. jadi kawasan pesisir yang berada di Sulsel masuk di kawasan konservasi dibawah naungan kementerian kehutanan lingkungan hidup." Sambungnya.
Ia kemudian sempat berbagi cerita bagaimana terjaganya ekosistem mangrove telah menyelamatkan kawasan tempat tinggalnya dari banjir rob dan angin puting beliung bahkan hampir rata dengan tanah, sekarang telah dimanfaatkan sebagai destinasi ekowisata.
"kampung lantebung pernah kejadian angin puting beliung dan banjir rob pada tahun 1977. disitu saya mulai belajar karena kejadian tersebut disebabkan oleh tidak adanya mangrove, terutama rumah saya sendiri roboh, jadi rumah yang berada di pinggiran pesisir hampir rata dengan tanah." jelasnya.
Secara ekonomi, mulai tumbuhnya mangrove di kawasan tersebut perlahan berdampak pada pendapatan nelayan berawal dari 10 ribu, hingga kini mencapai 1jt satu kali berlayar. Namun pak saraba tidak terlalu memikirkan pendapatan karena niat awalnya ingin melihat kampung lantebung ini bangkit dari keterpurukan.
"Saya tidak terlalu memikirkan pendapatan karena niat awal saya memang ingin membangun dan melihat kampung lantaibung ini bangkit dari keterpurukan sehingga ada kesejahteraan di wilayah perkampungan." Ungkapnya
sejarah kampung lantaibung ini bahkan tidak memiliki akses menuju perkampungan di karenakan tidak ada dana dari pemerintahan.
"Saya berinisiatif mengajak masyarakat turun demo dan menutup jalan tol, karena merasa dirinya berada di pihak kebenaran demi kelangsungan hidup masyarakat lantaibung. 2 Minggu setelah demo akhirnya terealisasikan dan akses menuju perkampungan sampai saat ini sudah bisa di lalui", tuturnya.
masyarakat lantebung juga bergantung hidupnya dari manfaat mangrove ini dan nelayan. Jauh sebelum hutan mangrove ini ada, masyarakat lantaibung serba kekurangan bahkan air tawar pun susah untuk di dapatkan.
"setelah mangrov ini ada, masyarakat sudah mulai menikmati Air fayo karena memang awalnya mangrove ini fungsinya bisa memunculkan air tawar yang ada di perkampungan. dan Alhamdulillah sudah di nikmati".
pak Saraba menegaskan tidak ada sedikitpun di benaknya bahwa mangrove ini menjadi tempat wisata.
Untuk saat ini penjagaan tempat wisata tersebut rata-rata remaja dari kampung lantaibung. Untuk biaya masuk hanya sekitar 5 ribu per orang. wisata ini ramai pada hari Sabtu dan Minggu tergantung cuaca.
Menurut saraba tracking mangrove yang akan dibangun nantinya akan memanjang sepanjang pesisir utara Makassar. Pengunjung bisa bersantai menikmati udara yang sejuk.
"kalau masalah wisata ini, yang dinikmati pengunjung itu seperti sunset dan kesejukan alamnya." Pungkasnya.
Pak Saraba berharap masyarakat setempat menghormati dan bersikap ramah terhadap pengunjung yang datang. Ia juga berharap kepada generasi pelanjut ini bisa menjaga betul Mangrove ini dan pelestariannya tetap berlanjut karena tiap tahun lebih banyak pengerusakan daripada pemulihan.
Komentar
Posting Komentar